Mari Hemat Energi

   Kebijakan hemat energi yang kembali dilakukan pemerintah idealnya bukanlah gerakan basa-basi. Jika sekedar basa basi, hanya akan menimbulkan antipati dan kebijakannya dianggap tidak pasti. Tentu saja, pemerintah dan rakyat lah yang akan rugi. Kebijakannya dari hulu hingga hilir, termasuk pengamanannya harus dipastikan terkendali dan terprogram semuanya.
   Bukan sekedar jam dan pola kerja, kantor pemerintahan dan seluruh peralatan dan perlengkapan birokrasi yang harus dihemat, sebenarnya hemat energi harus menjadi gerakan bersama rakyat Indonesia. Sementara, gerakan penghematan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi juga harus disertai pengawalan ekstra ketat karena rawan kebocoran. Sudah bukan rahasia lagi jika selama ini banyak terjadi penyimpangan dan kebocoran dalam distribusi BBM bersubsidi.
   Tentu saja, di daerah pun, seharusnya Rancangan Umum Energi Daerah sebagaimana amanat oleh UU no 30/2007 tentang energi dalam pasal 18 harus sudah ada dan diterapkan. Jadi, bukan hanya pemerintah pusat, daerah pun harus bergerak bersama. Sinergi ini jika tercipta akan sangat indah, melahirkan budaya pemanfaatan energi secara hemat.
   Tidak ada jalan lain, pemerintah, pengusaha dan masyarakat secara luas harus menjadikan hemat energi sebagai budaya bangsa. Bukankah nilai-nilai agama kita semua menyebut bahwa berhemat akan membahwa kepada pahala dan boros dekat dengan dosa. Hemat energi harus dapat dilakukan. Kita boros dan dimanjakan oleh BBM murah selama ini.
   Indonesia adalah negara yang pemanfaatan energinya masih boros. Data Statistical Review Of  World Energy 2004 dan IMF Monetary Outlook 2004 menyebut elastisitas pemakaian energi masih tinggi, mencapai 1,84. Sehingga untuk setiap pertumbuhan ekonomi diperlukan energi yang lebih besar. Setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen, pemakaian energi tumbuh 1,84 persen. Bandingkan dengan Malaysia yang relatif lebih rendah (1,69), apalagi jika dibandingkan dengan Jepang yang hanya 0,10, Kanada 0,17 dan Singapura yang hanya 0,73.
   Sementara, kebutuhan energi nasional sangat besar. Tahun 2010 saja, dibutuhkan sekitar 740 juta Setara Barel Minyak. Padahal Indonesia bukanlah negara yang memiliki kandungan minyak bumi yang besar. Almarhum Prof Widjajono Partowidagdo – kebetulan saya kenal dari Mbak Ninasapti kolega saya di Komite Ekonomi Nasional – dalam forum Economist Talk Mei 2011  (sebagaimana dikutip buletin Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian volume 1 Nomor 5-Mei 2011) menyatakan bahwa ada anggapan keliru yang menyatakan  kita lebih banyak memiliki cadangan minyak bumi. Padahal yang benar adalah lebih banyak cadangan batubara, Bahan Bakar Nabati (BBN), CBM (coal bed methane), panas bumi, air dan sebagainya. Minyak bumi saja, cadangan terbuktinya 9,1 miliar barel, produksi per tahun 387 juta barel dengan rasio cadangan produksi 23 tahun. Batubara, sumber dayanya 58 miliar ton, produksinya 132 juta ton dan rasio cadangan produksi 146 tahun.
   Pemerintah juga harus fokus pada diversifikasi dan konservasi energi. Perpres nomor 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional harus implementatif benar. Rencana tahun 2025 peranan minyak bumi dalam memenuhi konsumsi energi nasional tinggal 20%, gas bumi 30%, batu bara 33%, batu bara yang dicairkan 2%, bahan bakar nabati 5%, panas bumi 5% dan energi baru dan terbarukan lainnya seperti biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya dan tenaga angin peranannya menjadi lebih 5% harusnya dapat dilaksanakan sesuai target.
   Sekali lagi, ini soal komitmen bersama. Membudayakan hemat energi perlu proses panjang. Bukan kebijakan simsalabim yang dapat langsung jadi. Perlu proses panjang, wacana, edukasi dan pembiasaan pada generasi muda juga keteladanan dari orang tua. Selain itu, dukungan regulasi yang tegas dan tidak saling bertabrakan satu sama lain. Misalnya regulasi kepemilikan kendaran bermotor, pembiayaan kendaraan bermotor dan hemat energi harus sinergi. Konsumsi BBM akan terus meningkat jika kepemilikan kendaraan tidak dibatasi. Ini hanya salah satu contoh saja, banyak sekali kebijakan di sektor lain yang kerap berlawanan dengan kebijakan hemat energi. Termasuk aparat birokrasi banyak yang melakukan perjalanan dinas berlebihan, itu juga anti hemat energi. Semua pihak terlibat dan buatlah kebijakan yang tidak parsial. Karena jika setengah-setengah, terkesan pemerintah tak punya nyali, strategi apalagi inovasi.
   Meski demikian, kita semua harus terlibat dan bertindak nyata. Saya di Yayasan Inovasi Teknologi Indonesia (INOTEK) pun bergerak dengan berbagai elemen masyarakat untuk menciptakan teknologi yang merakyat, hemat dan ramah lingkungan. Salah satunya Kompor bio-masa yang betul-betul transformative.  Intinya, ambil peran masing-masing dan bersinergi.
   Dengan begitu, kita akan siapkan energi untuk anak cucu kita nanti. Jangan sampai kita meninggalkan bencana kehabisan energi untuk generasi mendatang. Marilah kita bersama menjadikan hemat energi sebagai budaya.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More